Born to Leaders, Leaders are Born and not made, Leaders are made and not Born, term tersebut bermaksud untuk menjelaskan asal mula kepemimpinan. Dalam teori kepemimpinan terdapat 3 (tiga) aliran utama yang menggambarakan muasal suatu kepemimpinan, pertama bahwa seorang dapat memimpin karena ia lahir dengan bakat-bakat kepemimpinan (teori genetik), kedua bahwa seorang dapat memimpin jika memiliki pendidikan dan memperoleh kesempatan (teori sosial); ketiga, seorang dapat menjadi pemimpim jika memiliki bakat-bakat yang bersifat genetis, tetapi itu hanya bersifat potensi yang harus dikembangkan lebih lanjut melalui pendidikan, pengalaman dan kesempatan (teori ekologis).
Minggu, 07 Februari 2016
Dasar-Dasar Kepemimpinan
Born to Leaders, Leaders are Born and not made, Leaders are made and not Born, term tersebut bermaksud untuk menjelaskan asal mula kepemimpinan. Dalam teori kepemimpinan terdapat 3 (tiga) aliran utama yang menggambarakan muasal suatu kepemimpinan, pertama bahwa seorang dapat memimpin karena ia lahir dengan bakat-bakat kepemimpinan (teori genetik), kedua bahwa seorang dapat memimpin jika memiliki pendidikan dan memperoleh kesempatan (teori sosial); ketiga, seorang dapat menjadi pemimpim jika memiliki bakat-bakat yang bersifat genetis, tetapi itu hanya bersifat potensi yang harus dikembangkan lebih lanjut melalui pendidikan, pengalaman dan kesempatan (teori ekologis).
Relasi Negara - Masyarakat Kota Makassar dalam Era Reformasi
Dasar Pemikiran
Perdebatan yang menjadi aktual dalam dekade pasca tumbangnya era otoriterian orde baru adalah negara dan masyarakat. Posisi dua term ini menjadi begitu hangat dan menarik bukan hanya dalam negara ketiga seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang modernisasi telah maju.
Rabu, 20 Januari 2016
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Era Reformasi (Studi Kasus Kota Makassar)
A.
Abstraksi
Studi Partisipasi politik telah banyak dilakukan oleh kalangan ilmuwan politik, baik dalam negara berkembang maupun di negara maju. Hasil studinyapun tidak terlalu banyak perbedaan dalam suatu wilayah, baik dari segi kualitas, model, bentuk maupun faktor yang berpengaruh dalam berpartispasi.
Tulisan dibawah ini
mencoba mengejewantahkan hasil studi partisipasi masyarakat Indonesia (Kota
Makassar) pasca tumbangnya orde baru. Faktanya,
masyarakat dalam era reformasi mengalami perubahan dalam partisipasi politik ,
terutama dalam model dan sifatnya. Pada era orde baru partisipasi lebih
cenderung menjadi fsudo participation, namun dalam era reformasi model dan
bentuk partisipasi sudah lebih mengarah menjadi partisipasi otonom. Model partisipasi
semu dan mobilisasi berangsur-angsur menjadi partisipasi otonom. Selain itu perubahan sistem ketatanegaraan mempengaruhi
masyarakat dalam partisipasi, sehingga dengan perubahan sistem politik membawa perubahan
terhadap sikap dan orientasi politik warga.
Kamis, 28 Mei 2015
Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa
Walau bukan tulisan saya tapi diposting di blog ini, karena beberapa diantaranya menggambarkan pribadi saya,he..he, kecuali nomor 8, 18 dan 20
Hubungan dosen dengan mahasiswa kerap kali berlangsung rumit (ciyus!). Kadang, dua manusia beda usia itu bisa sangat mesra. Mereka seperti sepasang kekasih yang kompak bergandeng tangan di taman penuh bunga. Saling memuji, saling menguatkan. Mereka adalah tim yang saling melengkapi. Tapi, kadang-kadang hubungan mereka juga memanas. Keduannya terjebak pada syak wasangka. Si dosen menganggap mahasiswa tak kooperatif dan kurang sungguh-sungguh belajar. Adapun mahasiswa kerap mencurigai dosen sebagai makhluk abad 16 yang tidak bisa mengerti visi hidup anak muda. Kesalahpahaman itu dipicu oleh perbedaan perspektif. Karena itu, supaya kamu bisa kenali dosen dengan lebih baik, kesalahpahaman seperti itu tidak harus terjadi. Ketahuilah 20 sifat mereka ini.
1. Bukan Makhluk Serba Tahu
Dosenmu mungkin sudah bergelar profesor. Dia memanfaatkan sepertiga waktu yang dimilikinya untuk membaca buku. Tapi, dosen bukan makhluk serba tahu. Dia juga bukan pembaca pikiran seperti Charles Francis Xavier. Dosen memang menghabiskan waktu puluhan tahun untuk belajar, dari S1 sampai S4 (program postdoktoral, adakah?). Tapi, bidang yang mereka tekuni biasanya sangat spesifik. Seorang dosen kedokteran mungkin hanya mempelajari telinga. Lebih spesifik lagi, mungkin dia hanya mempelajari telinga bagian dalam. Lebih spesifik lagi, mungkin dia cuma mempelajari telinga bagian dalam khusus telinga kiri. Lebih spesifik lagi, mungkin cuma telinga dalam bagian kiri khusus perempuan. Maka, tidak baik menanyakan semua hal pada mereka. Apalagi menanyakan sesuatu yang jelas-jelas tidak mereka ketahui. Jangan tanya pada dosen ekonomi soal morfologi tanah. Sebab, yang dia tahu justru harga jual tanahd dan perilaku makelar.
2. Mungkin Kelelahan
Di sejumlah perguruan tinggi, rasio dosen dan mahasiswa belum cukup ideal. Ini membuat dosen harus mengajar lebih banyak kelas dari yang seharusnya. Pada sore hari mereka mungkin sudah merasa lelah. Jangan salahkan mereka kalau mereka tiba-tiba terlelap tidur saat presentasi di depan kelas. Jangan protes. Beri dia udara yang cukup, agar silir dan makin anglerrr. Kalau perlu, ambilkan guling sekalian.
3. Senang Dialog Dosen
memang pihak yang relatif lebih menguasai kelas. Namun, mereka buka tipe penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya secara totaliter. Sebaliknya, mereka ingin mendapat respon balik dari kamu, mahasiswa. Mereka ingin kamu berpendapat, memulai diskusi, debat, atau apap pun yang memungkinkan dialog. Kalau tidak ada respon dari mahasiswa, dosen akan merasa patah hati, persis seperti bujang yang ditolak janda kembang.
4. Tidak Hafal Nama Tiap Mahasiswa
Dalam sebuah kelas, jumlah mahasiswa mungkin bisa mencapai 30 orang. Padahal dalam satu semester seorang dosen bisa mengajar hingga 10 kelas. Artinya, ada 300 wajah baru yang harus dihafal. Ini tugas yang berat. Maka, jangan tersinggung kalau dia tidak hafal namamu. Kecuali kalau kamu adalah mahasiswa istimewa yang sejak awal menyita perhatiannya.
5. Tidak Baca Semua Makalahmu
Percayalah, dosen tidak membaca makalahmu dari sampul hingga daftar pustaka. Kalaupun membaca, mereka akan melakukannya secara cepat.
6. Teliti Karena Terlatih
Meski tidak membaca seluruh bagian makalahmu, dosen selalu bisa menemukan bagian-bagian yang keliru dari makalahmu. Bukan karena mereka diberkati bakat seperti cenayang, tapi karena mereka terlatih selama puluhan tahun. Dengan membaca bagian-bagian tertentu saja, dia bisa membuat diagnosis terhadap makalahmu.
7. Berusaha Disiplin
Ada dosen yang jarang sekali masuk kelas. Ini bukan karena mereka malas. Mereka biasanya memiliki tugas tambahan. Misalnya, meneliti, mengadakan pengabdian, atau menulis buku. Di balik semua itu, mereka berusaha mendisiplinkan diri. Mereka telah membuat jadwal yang ketat agar bisa masuk kelas sesering mungkin. (Note: Penjelasan nomor 7 ini boleh diragukan keabsahannya).
8. Dosen Proyektor
Dari sekian banyak dosenmu, kamu akan mendapati ada tipe dosen proyektor. Inilah jenis dosen yang justru disibukkan urusan proyek. Dosen tipe ini memanfaatkan setiap akademik sebagai sumber penghasilan. Yang mereka pikirkan adalah uang. Ya uang lelah, uang kemeng, uang berkeringat, uang bernafas, sampai uang bersin. Dosen tipe ini suka mengambil sebgain dana penelitian untuk keperluan pribadi. Yang begini ini biasanya suka sekali bikin proposal program pengabdian masyarakat. Iya, “pengabdian”.
9. Bisa Kamu Salip Percayalah,
tidak semua dosen adalah pembaca buku yang baik. Kalaupun mereka suka membaca, energy dan waktunya mungkin terbatas. Kamu bisa menyalip kemampuan dosenmu dengan membaca buku lebih banyak dari mereka.
10. Paling Benci dengan Kopas
Ada dua hal yang paling dibenci dosen. Satu, gajinya telat. Dua, melihat tugas hasil kopi paste (kopas). Bagi para dosen, mahasiswa yang melakukan plagiasi berarti telah melakukan kejahatan intelektual. Hukumannya sangat berat.
11. Hafal Kelakuan Para Pencontek
Dosen yang mengajar selama belasan tahun sudah berpengalaman ribuan kali mengawasi ujian. Pengalaman panjang ini membuat mereka hafal betul kelakuan mahasiswa yang nyontek. Dari yang nyontek pake hape, nyontek pake kertas dilinting, sampai yang menuliskan kunci jawaban di paha: dosen tahu. Para pencontek, sebagaimana para pembohong lain, selalu menunjukkan tingkah aneh. Ekspresi wajah mereka selalu tanggung: senang tidak, sedih juga enggak. Para pecontek berusaha memfokuskan pandangan, tapi pandangan mereka justru tampak buyar. Selain itu, para pecontek selalu mengawasi penguji. Ini membuat suasana ruang ujian kerap kali tertukar: mahasiswa yang justru terus menerus mengawasi dosen.
12. Tidak Selalu Jujur
Ini penting diketahui. Tidak semua perkataan dosen adalah kebenaran. Dosen tertentu mungkin memiliki sesuatu yang dirahasiakan. Entah tentang kehidupannya, entah tentang gaya hidupnya di luar kampus, atau soal pandangan politiknya. Mahasiswa yang kritis akan bisa membedakan, mana ucapan dosen yang jujur dan bisa dipercaya dan mana ucapan yang meragukan sehingga perlu dikonfirmasi.
13. Mereka Memperhatikanmu
Betapa pun mereka tidak hafal namamu, dosen selalu berusaha memperhatikanmu. Dosen ingin melihat bakat yang kamu simpan. Seorang pendidik memiliki kecenderungan alami untuk peduli. Maka, dari depan kelas sesekali dia akan mengalihkan pandangan ke arahmu. Dia ingin mencari tahu, potensi apa yang bisa dikembangkan dari diri kamu.
14. Sepatu Sobek dan Kemeja Jadul
Dosen statistikmu mungkin beda cahsing dengan dosen komunikasi. Dia bisa benar-benar abai pada penampilan fisiknya. Dosen laki-laki mungkin tidak pernah perhatikan sepatunya begitu kusam, bahkan sobek. Mungkin juga, dia hanya punya beberapa kemeja sehingga mamakainya secara berurut-turu dalam 2 hari. Adapun dosen perempuan, mungkin tidak suka bermake-up. Dia juga ogah menggunakan sepatu hak tinggi seperti Ketty Perry. Selama mereka tetap mandi sebelum ngajar, maklumilah mereka.
15. Ingin Hubungan Personal Lebih Dekat
Dosen sastra Universitas Indonesia (UI) Maman S Mahayan pernah dicueki mahasiswanya saat ia baru mulai mengajar di Korea. Mahasiswa di kelasnya satu per satu pergi meninggalkan kelas. Tentu saja itu membuatnya sedih. Maman kemudian mengundang para mahasiswa untuk makan malam di apartemennya. Bagi Maman, itu kesempatan yang baik untuk mengenali mahasiswanya secara lebih dekat. Jika hubungan personal sudah mulai terjalin, komunikasi dengan mahasiswa bisa segera diperbaiki. Dosen juga bisa memilih strategi belajar yang lebih tepat.
16. Beda, Dosen Laki-laki dan Perempuan
Meski sama-sama berprofesi sebagai dosen, tetap ada perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan dasar ini perlu diketehaui mahasiswa. Dosen laki-laki mungkin suka humor berbau seks. Kalau mendapati sesuatu yang lucu, dia akan tertawa terbahak-bahak. Dia juga tidak akan ragu melakukan kontak fisik dengan salaman, tos, atau menepuk bahu. Hal-hal seperti itu mungkin kurang disukai dosen perempuan. Umumnya mereka tidak senang dengan anekdot seks (meski tetap suka seks). Ini tentu saja lumrah. Sebab, sebagian anekdot bertema seks cenderung seksist, menempatkan perempuan sebagai bahan olok-olok. Kecuali kamu sesakti Stifler, berhati-hatilah.
17. Bukan Feodal
Sebagai kelompok terdidik, dosen menginginkan hubungan selalu terjalin dengan sehat. Salah satu cirri hubungan sehat adalah egaliter, tidak ada intimidasi satu dengan lainnya. Mereka ingin kamu menghormatinya, tapi bukan dengan ekspresi-ekspresi feodalistik. Maka, tidak perlu ngesot saat jalan di depannya. Kamu juga tidak harus selalu cium tangan. Apalagi kalau kamu sudah seminggu kena flu.
18. Siap Bertukar Buku
Dosen Sastra Undip Redyanto Noor membuka rumahnya di akhir pekan bagi mahasiswa. Dia juga mempersilakan mahasiswa membaca dan meminjam buku koleksinya. Tapi dia sedih, sebagian bukunya tidak kembali. “Cuma dosen gila yang rela bukunya dipinjam mahasiswa. Tapi ya cuma mahasiswa gila yang mau kembalikan buku ke dosennya,” kelakarnya.
19. Ingin Memberimu Kebebasan
Dosen tidak selalu ingin menguasai pikiranmu. Sebaliknya, dosen ingin mengajakmu ke dunia berpikir yang bebas. Jangan sampai rasa hormatmu membuatmu tidak enak hati mendebat dosen, kalau dia keliru. Dosen akan senang kalau dengan argumen yang tepat, kamu justru bisa memberinya koreksi. “Aku menang justru ketika anakku bisa mengalahkanku,” kurang lebih begitu pikirian para dosen – mengutip kalimat dalam sebuah iklan.
20. Presentasi Peninggalan Zaman Majapahit
Beberapa dosen mungkin sudah piawai menggunakan power point untuk presentasi di kelas. Ada yang sudah makek Prezi malah. Tapi, ada juga dosen yang masih menggunakan OHP Projector. Kalau kamu menemukan itu, kamu tidak perlu mengolok-oloknya. Nikmati saja perkuliahan. Bayangkan bahwa kamu sedang diajari oleh mahaguru dari zaman Majapahit.
21. Selalu Menunggu Diajak Makan Siang
Usai kuliah, mainlah ke ruang dosen. Ajak dia ke kantin kampus dan tawari dia makan siang. Percayalah, asal dia belum makan, dia akan menerima tawaranmu. Kesempatan makan siang bersama mahasiswa selalu ditunggu dosen untuk mencairkan suasana. Kesempatan itu dimanfaatkan dosen untuk menunjukkan sisi humanisnya. Jangan kaget kalau dosenmu ternyata suka pete, ya. Juga jangan kaget kalau porsi makannya tiga kali lipat dari kebanyakan orang.
22. Pernah Hidup Susah
Dia mungkin naik Mercedes Benz ke kampus. Tapi percayalah, mereka tidak terlahir di kotak berjalan itu. Mobil bagus itu juga bukan warisan dari ayahnya. Mereka membeli mobil bagus setelah menabung bertahun-tahun.
23. Memantau Setelah Kamu Lulus
Petani selalu ingin melihat apakah tanaman yang ditanamnya tumbuh dengan baik atau tidak. Dosen juga seperti itu. Dia ingin tahu, apakah mahasiswa yang didiknya sudah berhasil atau belum. Mereka mungkin tidak akan menghubungimu melalui telefon, tapi sesekali dia akan mengetikkan namamu di Google. Dia berharap mesin pencari itu membawa kabar baik.
24. Senang Mendengar Kabar Dari Kamu
Kalau kamu sudah lulus, sudah bertahun-tahun tidak ketemu dosen, sempatkanlah memberi kabar. Mereka akan senang mendengarnya. Tidak harus selalu kabar besar yang kamu sampaikan. Kabar yang sederhana pun cukup membuatnya senang. “Sekarang saya sudah menikah dan tinggal di Bandung, Pak,” misalnya, Atau, “Saya baru saja menemukan bunga mawar putih. Tiba-tiba saya ingat Ibu. Di salah satu perkuliahan, ibu pernah mengajak kami ke laboratorium untuk mengulas tentang klorofil.”
25. Berdoa untuk Kebaikan Kamu
Ada tiga doa yang selalu dipanjatkan seorang dosen usai mereka beribadah. Pertama, dia meminta Tuhan membantunya melunasi kredit rumah. Kedua, dia meminta Tuhan membantunya mencukupi tagihan pendidikan anak. Ketiga, dia meminta Tuhan membantu mahasiswanya agar dapat menjalani hidup dengan baik. Mereka mungkin tidak menyebut namamu satu persatu (sebab itu akan membuat doanya justru seperti acara wisuda), tapi dia mengharapkanmu bahagia.
sumber : http://portalsemarang.com/inilah-25-rahasia-dosen-yang-wajib-diketahui-mahasiswa
»» read more
Hubungan dosen dengan mahasiswa kerap kali berlangsung rumit (ciyus!). Kadang, dua manusia beda usia itu bisa sangat mesra. Mereka seperti sepasang kekasih yang kompak bergandeng tangan di taman penuh bunga. Saling memuji, saling menguatkan. Mereka adalah tim yang saling melengkapi. Tapi, kadang-kadang hubungan mereka juga memanas. Keduannya terjebak pada syak wasangka. Si dosen menganggap mahasiswa tak kooperatif dan kurang sungguh-sungguh belajar. Adapun mahasiswa kerap mencurigai dosen sebagai makhluk abad 16 yang tidak bisa mengerti visi hidup anak muda. Kesalahpahaman itu dipicu oleh perbedaan perspektif. Karena itu, supaya kamu bisa kenali dosen dengan lebih baik, kesalahpahaman seperti itu tidak harus terjadi. Ketahuilah 20 sifat mereka ini.
1. Bukan Makhluk Serba Tahu
Dosenmu mungkin sudah bergelar profesor. Dia memanfaatkan sepertiga waktu yang dimilikinya untuk membaca buku. Tapi, dosen bukan makhluk serba tahu. Dia juga bukan pembaca pikiran seperti Charles Francis Xavier. Dosen memang menghabiskan waktu puluhan tahun untuk belajar, dari S1 sampai S4 (program postdoktoral, adakah?). Tapi, bidang yang mereka tekuni biasanya sangat spesifik. Seorang dosen kedokteran mungkin hanya mempelajari telinga. Lebih spesifik lagi, mungkin dia hanya mempelajari telinga bagian dalam. Lebih spesifik lagi, mungkin dia cuma mempelajari telinga bagian dalam khusus telinga kiri. Lebih spesifik lagi, mungkin cuma telinga dalam bagian kiri khusus perempuan. Maka, tidak baik menanyakan semua hal pada mereka. Apalagi menanyakan sesuatu yang jelas-jelas tidak mereka ketahui. Jangan tanya pada dosen ekonomi soal morfologi tanah. Sebab, yang dia tahu justru harga jual tanahd dan perilaku makelar.
2. Mungkin Kelelahan
Di sejumlah perguruan tinggi, rasio dosen dan mahasiswa belum cukup ideal. Ini membuat dosen harus mengajar lebih banyak kelas dari yang seharusnya. Pada sore hari mereka mungkin sudah merasa lelah. Jangan salahkan mereka kalau mereka tiba-tiba terlelap tidur saat presentasi di depan kelas. Jangan protes. Beri dia udara yang cukup, agar silir dan makin anglerrr. Kalau perlu, ambilkan guling sekalian.
3. Senang Dialog Dosen
memang pihak yang relatif lebih menguasai kelas. Namun, mereka buka tipe penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya secara totaliter. Sebaliknya, mereka ingin mendapat respon balik dari kamu, mahasiswa. Mereka ingin kamu berpendapat, memulai diskusi, debat, atau apap pun yang memungkinkan dialog. Kalau tidak ada respon dari mahasiswa, dosen akan merasa patah hati, persis seperti bujang yang ditolak janda kembang.
4. Tidak Hafal Nama Tiap Mahasiswa
Dalam sebuah kelas, jumlah mahasiswa mungkin bisa mencapai 30 orang. Padahal dalam satu semester seorang dosen bisa mengajar hingga 10 kelas. Artinya, ada 300 wajah baru yang harus dihafal. Ini tugas yang berat. Maka, jangan tersinggung kalau dia tidak hafal namamu. Kecuali kalau kamu adalah mahasiswa istimewa yang sejak awal menyita perhatiannya.
5. Tidak Baca Semua Makalahmu
Percayalah, dosen tidak membaca makalahmu dari sampul hingga daftar pustaka. Kalaupun membaca, mereka akan melakukannya secara cepat.
6. Teliti Karena Terlatih
Meski tidak membaca seluruh bagian makalahmu, dosen selalu bisa menemukan bagian-bagian yang keliru dari makalahmu. Bukan karena mereka diberkati bakat seperti cenayang, tapi karena mereka terlatih selama puluhan tahun. Dengan membaca bagian-bagian tertentu saja, dia bisa membuat diagnosis terhadap makalahmu.
7. Berusaha Disiplin
Ada dosen yang jarang sekali masuk kelas. Ini bukan karena mereka malas. Mereka biasanya memiliki tugas tambahan. Misalnya, meneliti, mengadakan pengabdian, atau menulis buku. Di balik semua itu, mereka berusaha mendisiplinkan diri. Mereka telah membuat jadwal yang ketat agar bisa masuk kelas sesering mungkin. (Note: Penjelasan nomor 7 ini boleh diragukan keabsahannya).
8. Dosen Proyektor
Dari sekian banyak dosenmu, kamu akan mendapati ada tipe dosen proyektor. Inilah jenis dosen yang justru disibukkan urusan proyek. Dosen tipe ini memanfaatkan setiap akademik sebagai sumber penghasilan. Yang mereka pikirkan adalah uang. Ya uang lelah, uang kemeng, uang berkeringat, uang bernafas, sampai uang bersin. Dosen tipe ini suka mengambil sebgain dana penelitian untuk keperluan pribadi. Yang begini ini biasanya suka sekali bikin proposal program pengabdian masyarakat. Iya, “pengabdian”.
9. Bisa Kamu Salip Percayalah,
tidak semua dosen adalah pembaca buku yang baik. Kalaupun mereka suka membaca, energy dan waktunya mungkin terbatas. Kamu bisa menyalip kemampuan dosenmu dengan membaca buku lebih banyak dari mereka.
10. Paling Benci dengan Kopas
Ada dua hal yang paling dibenci dosen. Satu, gajinya telat. Dua, melihat tugas hasil kopi paste (kopas). Bagi para dosen, mahasiswa yang melakukan plagiasi berarti telah melakukan kejahatan intelektual. Hukumannya sangat berat.
11. Hafal Kelakuan Para Pencontek
Dosen yang mengajar selama belasan tahun sudah berpengalaman ribuan kali mengawasi ujian. Pengalaman panjang ini membuat mereka hafal betul kelakuan mahasiswa yang nyontek. Dari yang nyontek pake hape, nyontek pake kertas dilinting, sampai yang menuliskan kunci jawaban di paha: dosen tahu. Para pencontek, sebagaimana para pembohong lain, selalu menunjukkan tingkah aneh. Ekspresi wajah mereka selalu tanggung: senang tidak, sedih juga enggak. Para pecontek berusaha memfokuskan pandangan, tapi pandangan mereka justru tampak buyar. Selain itu, para pecontek selalu mengawasi penguji. Ini membuat suasana ruang ujian kerap kali tertukar: mahasiswa yang justru terus menerus mengawasi dosen.
12. Tidak Selalu Jujur
Ini penting diketahui. Tidak semua perkataan dosen adalah kebenaran. Dosen tertentu mungkin memiliki sesuatu yang dirahasiakan. Entah tentang kehidupannya, entah tentang gaya hidupnya di luar kampus, atau soal pandangan politiknya. Mahasiswa yang kritis akan bisa membedakan, mana ucapan dosen yang jujur dan bisa dipercaya dan mana ucapan yang meragukan sehingga perlu dikonfirmasi.
13. Mereka Memperhatikanmu
Betapa pun mereka tidak hafal namamu, dosen selalu berusaha memperhatikanmu. Dosen ingin melihat bakat yang kamu simpan. Seorang pendidik memiliki kecenderungan alami untuk peduli. Maka, dari depan kelas sesekali dia akan mengalihkan pandangan ke arahmu. Dia ingin mencari tahu, potensi apa yang bisa dikembangkan dari diri kamu.
14. Sepatu Sobek dan Kemeja Jadul
Dosen statistikmu mungkin beda cahsing dengan dosen komunikasi. Dia bisa benar-benar abai pada penampilan fisiknya. Dosen laki-laki mungkin tidak pernah perhatikan sepatunya begitu kusam, bahkan sobek. Mungkin juga, dia hanya punya beberapa kemeja sehingga mamakainya secara berurut-turu dalam 2 hari. Adapun dosen perempuan, mungkin tidak suka bermake-up. Dia juga ogah menggunakan sepatu hak tinggi seperti Ketty Perry. Selama mereka tetap mandi sebelum ngajar, maklumilah mereka.
15. Ingin Hubungan Personal Lebih Dekat
Dosen sastra Universitas Indonesia (UI) Maman S Mahayan pernah dicueki mahasiswanya saat ia baru mulai mengajar di Korea. Mahasiswa di kelasnya satu per satu pergi meninggalkan kelas. Tentu saja itu membuatnya sedih. Maman kemudian mengundang para mahasiswa untuk makan malam di apartemennya. Bagi Maman, itu kesempatan yang baik untuk mengenali mahasiswanya secara lebih dekat. Jika hubungan personal sudah mulai terjalin, komunikasi dengan mahasiswa bisa segera diperbaiki. Dosen juga bisa memilih strategi belajar yang lebih tepat.
16. Beda, Dosen Laki-laki dan Perempuan
Meski sama-sama berprofesi sebagai dosen, tetap ada perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan dasar ini perlu diketehaui mahasiswa. Dosen laki-laki mungkin suka humor berbau seks. Kalau mendapati sesuatu yang lucu, dia akan tertawa terbahak-bahak. Dia juga tidak akan ragu melakukan kontak fisik dengan salaman, tos, atau menepuk bahu. Hal-hal seperti itu mungkin kurang disukai dosen perempuan. Umumnya mereka tidak senang dengan anekdot seks (meski tetap suka seks). Ini tentu saja lumrah. Sebab, sebagian anekdot bertema seks cenderung seksist, menempatkan perempuan sebagai bahan olok-olok. Kecuali kamu sesakti Stifler, berhati-hatilah.
17. Bukan Feodal
Sebagai kelompok terdidik, dosen menginginkan hubungan selalu terjalin dengan sehat. Salah satu cirri hubungan sehat adalah egaliter, tidak ada intimidasi satu dengan lainnya. Mereka ingin kamu menghormatinya, tapi bukan dengan ekspresi-ekspresi feodalistik. Maka, tidak perlu ngesot saat jalan di depannya. Kamu juga tidak harus selalu cium tangan. Apalagi kalau kamu sudah seminggu kena flu.
18. Siap Bertukar Buku
Dosen Sastra Undip Redyanto Noor membuka rumahnya di akhir pekan bagi mahasiswa. Dia juga mempersilakan mahasiswa membaca dan meminjam buku koleksinya. Tapi dia sedih, sebagian bukunya tidak kembali. “Cuma dosen gila yang rela bukunya dipinjam mahasiswa. Tapi ya cuma mahasiswa gila yang mau kembalikan buku ke dosennya,” kelakarnya.
19. Ingin Memberimu Kebebasan
Dosen tidak selalu ingin menguasai pikiranmu. Sebaliknya, dosen ingin mengajakmu ke dunia berpikir yang bebas. Jangan sampai rasa hormatmu membuatmu tidak enak hati mendebat dosen, kalau dia keliru. Dosen akan senang kalau dengan argumen yang tepat, kamu justru bisa memberinya koreksi. “Aku menang justru ketika anakku bisa mengalahkanku,” kurang lebih begitu pikirian para dosen – mengutip kalimat dalam sebuah iklan.
20. Presentasi Peninggalan Zaman Majapahit
Beberapa dosen mungkin sudah piawai menggunakan power point untuk presentasi di kelas. Ada yang sudah makek Prezi malah. Tapi, ada juga dosen yang masih menggunakan OHP Projector. Kalau kamu menemukan itu, kamu tidak perlu mengolok-oloknya. Nikmati saja perkuliahan. Bayangkan bahwa kamu sedang diajari oleh mahaguru dari zaman Majapahit.
21. Selalu Menunggu Diajak Makan Siang
Usai kuliah, mainlah ke ruang dosen. Ajak dia ke kantin kampus dan tawari dia makan siang. Percayalah, asal dia belum makan, dia akan menerima tawaranmu. Kesempatan makan siang bersama mahasiswa selalu ditunggu dosen untuk mencairkan suasana. Kesempatan itu dimanfaatkan dosen untuk menunjukkan sisi humanisnya. Jangan kaget kalau dosenmu ternyata suka pete, ya. Juga jangan kaget kalau porsi makannya tiga kali lipat dari kebanyakan orang.
22. Pernah Hidup Susah
Dia mungkin naik Mercedes Benz ke kampus. Tapi percayalah, mereka tidak terlahir di kotak berjalan itu. Mobil bagus itu juga bukan warisan dari ayahnya. Mereka membeli mobil bagus setelah menabung bertahun-tahun.
23. Memantau Setelah Kamu Lulus
Petani selalu ingin melihat apakah tanaman yang ditanamnya tumbuh dengan baik atau tidak. Dosen juga seperti itu. Dia ingin tahu, apakah mahasiswa yang didiknya sudah berhasil atau belum. Mereka mungkin tidak akan menghubungimu melalui telefon, tapi sesekali dia akan mengetikkan namamu di Google. Dia berharap mesin pencari itu membawa kabar baik.
24. Senang Mendengar Kabar Dari Kamu
Kalau kamu sudah lulus, sudah bertahun-tahun tidak ketemu dosen, sempatkanlah memberi kabar. Mereka akan senang mendengarnya. Tidak harus selalu kabar besar yang kamu sampaikan. Kabar yang sederhana pun cukup membuatnya senang. “Sekarang saya sudah menikah dan tinggal di Bandung, Pak,” misalnya, Atau, “Saya baru saja menemukan bunga mawar putih. Tiba-tiba saya ingat Ibu. Di salah satu perkuliahan, ibu pernah mengajak kami ke laboratorium untuk mengulas tentang klorofil.”
25. Berdoa untuk Kebaikan Kamu
Ada tiga doa yang selalu dipanjatkan seorang dosen usai mereka beribadah. Pertama, dia meminta Tuhan membantunya melunasi kredit rumah. Kedua, dia meminta Tuhan membantunya mencukupi tagihan pendidikan anak. Ketiga, dia meminta Tuhan membantu mahasiswanya agar dapat menjalani hidup dengan baik. Mereka mungkin tidak menyebut namamu satu persatu (sebab itu akan membuat doanya justru seperti acara wisuda), tapi dia mengharapkanmu bahagia.
sumber : http://portalsemarang.com/inilah-25-rahasia-dosen-yang-wajib-diketahui-mahasiswa
Kamis, 16 April 2015
Kearifan Lokal dan Politik Sulawesi Tengah
Refrensi local wisdom khususnya di Sulawesi Tengah belum banyak berkontribusi
terhadap “kekayaan” kahasanah budaya nusantara apalagi dalam ilmu politik. Hal
ini terjadi karena kurangnya publikasi dan minat peneliti untuk mendalami
tema-tema lokal khususnya Sulawesi Tengah. Riset dan kajian selama ini lebih
banyak mengarah pada tema resolusi konflik terutama pasca konflik Poso di awal
tahun 2000-an. Padahal cukup banyak konsep dan petuah-petuah lokal yang bisa
dijadikan sebagai local wisdom di Sulawesi Tengah.
Sebelum John Locke
(1632-1704) mengeluaran Two Treatises of
Government (1690) dan Montesquie (1689-1755)
dengan Spirits of the Laws (1748) yang kita kenal dengan konsep trias politica dipelajari dalam Sistem
Politik Indonesia, di Luwuk sudah mengenal konsep Basalo Sangkep yang menghendaki
agar kekuasaan tidak berada pada satu lembaga atau kelompok. Basalo merupakan
lembaga yang mengangkat sekaligus sebagai pengawas raja dalam melaksanakan
tugasnya. Basale Sankep terdiri 4 elemen
Di Kulawi Kabupaten Sigi atau di sekitar dataran tinggi Sulawesi Tengah
dikenal konsep Bantaya yang mungkin memiliki kemiripan dengan meritokrasi seperti yang dikehendaki
Aristoteles yakni dengan memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang
berprestasi atau berkemampuan untuk menjadi pemimpin tidak berdasar pada populer vote atau one man one
vote one value.
Selain itu terdapat semboyang bahkan nilai-nilai kearifan lokal yang bisa
dijadikan sebagai kohesi sosial. Semisal Sintuwu Maroso yang dijadikan sebagai
perekat sosial bilaman terjadi konflik. Di Kota Palu sangat terkenal dengan konsep
Nosarara Nosabatutu atau lebih lengkapnya “Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu” yang merupakan sebuah konsep
kebijakan yang telah dibangun dan dipedomani oleh To kaili sejak berabad-abad
lampau. Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu
adalah suatu rangkaian dalam pengambilan keputusan yang melibatkan orang banyak
atau seluruh komponen masyarakat kota Palu, dalam filosofi yang terkandung
dalam local wisdom tersebut juga
sebagai bagian dalam merajut ikatan kekeluargaan sebagai dasar
bangunan sosial politik yang kuat,
selain itu juga berimplikasi terhadap pembinaan sosial ekonomi dan budaya
Namun local wisdom seperti itu
belum terpublikasi dengan baik bahkan cenderung agak sulit lagi ditemukan dalam
bentuk dokumentasi. Berangkat dari heteroginitas dan kekayan khasanah
masyarakat Sulawesi Tengah tersebut mengilhami untuk mempublikasikan hasil
kajian mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang memprogramkan mata kuliah Pemeritahan dan
Politik Lokal dalam bentuk prosiding. Prosiding
ini hadir tidak secara instan tapi melalui serangkaian proses, mulai dari
pencarian tema, kemudian dilanjutkan dengan penulusuran data pendukung dari
yang sudah terpublkiasi sampai pada data yang hanya dari sumber primer melalui
interview narasumber yang dianggap mengetahui masalah yang diangkat.
Local Wisdom di Sulawesi Tengah
Menurut Mattulada dalam James S
Davidson, (2010;348) bahwa di Sulawesi Tengah pada umumnya orang menganggap
terdapat 12 kelompok etnik yang berdasarkan pengelompokan bahasa dan nama
tempat pemukiman yaitu Kaili, Tomini, Pamona, Lore, Mori, Bungku, Saluan,
Balantak, Banggai, Toli-Toli dan Buol.
Namun
dalam prosiding ini kami hanya membahas 11 local wisdom dan politik local yang
ada dalam etnik di Sulawesi Tengah tersebut yakni : Kota Palu dengan Nosarara Nosabatutu seperti dijelaskan
secara ringkas diatas, kemudian Suku Pamona dengan Sintuwu Maroso; Etnis
Lore dengan konsep Pakaroho Pohintuvu, Buol dengan Pakaroho Pohintuvu; Saluan dengan Imbo
Momposaanggu Lima Mombangun Tano;
Suku Balantak dengan Rumpun Pitu Bense Pokok Bondolong; Suku Lauje dengan Sombo, Ponombo,
Sinombo; Suku Mori dengan Koa Luwu Mepae Kompo; Suku Bungku dengan Tepeasa
Moroso; Toli-Toli
dengan konsep Motongolipu
Motimpedes Magau; Suku Banggai dengan Montolutusa;
memang disadari bahwa ada beberapa local wisdom tersebut hanyalah sebagai
simbol yang dipakai oleh Pemerintah setempat dalam menggelorakan sprit
pembangunan.
Selain local wisdom kami juga
menghadirkan konfigurasi politik masing-masing etnik dan bagaimana pengaruh
mereka dalam dinamika politik di Sulawesi Tengah, penyebutan nama dan peran
mereka tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau menjadikannya sebagai aristokrasi
lokal yang bersifat heavy tetapi
hanya sekedar melihat kontribusi dan peran mereka dengan bakcground etnik dalam
dinamika politik Sul-Teng, dan juga tidak untuk membuat berhadapan secara vis a vis antara etnik yang satu dengan
etnik yang lainnya.
-------------
Ket. Pengantar dalam Prosiding Local Wisdom dan Politik Lokal Sulawesi Tengah,
Prosiding dapat dibaca di Perpustakaan FISIP Untad
Foto : republika.co.id
Kamis, 09 April 2015
Revolusi Mental Prilaku Birokrasi Indonesia
Revolusi mental menjadi isu hangat akhir-akhir ini.
Selain menjadi jualan kampanye Jokowi-Jusuf Kalla yang mengantarkan pasangan
ini meraih kemenangan juga sepertinya menjadi keharusan dalam memotret prilaku
aparatur birokrasi (pegawai negeri sipil) khususnya dalam melakukan tugas
utamanya dalam melakukakan pelayanan publik.
Tidak bisa dipungkiri wajah birokrasi Indonesia
ditampilkan dengan pembacaan yang kurang begitu menarik bagi masyarakat, kesan
bertele-tele, lamban dalam memberika layanan sudah menjadi bahasa lumrah ketika
masyarakat diminta opininya terhadap prilaku birokrasi, bahwa meski dalam
beberapa kesempatan, pejabat publik menyerukan perlunya peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik, namun dalam realitasnya,
seruan tersebut masih sekedar jargon (Rosyadi, 2010).
Banyak faktor penyebab pelayanan publik di negara ini
menjadi lemah disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level
pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang
dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara
riil. Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi bawahan mempraktekkan pemberian
diskresi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Terjadi konflik antara
pembuat kebijakan dan birokrasi bawahan sebagai pelaksana kebijakan. Di satu
sisi para legislator dan pembuat kebijakan lainnya berupaya menciptakan
tujuan-tujuan ideal ke dalam peraturan. Di sisi lainnya birokrasi bawahan
berjalan dengan kepentingannya sendiri untuk memanfaatkan akses langsungnya
terhadap klien. Maka diskresi peraturan yang dipraktekkan birokrat bawahan
menjadi lazim.
Proses rekrtuitmen jabatan struktural juga ditengarai
sebagai penyebab birokrat tidak berjalan maksimal dalam memberikan layanan
publik. Rekriutmen tidak berdasarkan merit
system tetapi berdasarkan atas spoil
system yakni berdasarkan atas kedekatan-kedekatan tertentu atau karena like and dislike bukan karena kapasitas dan kapabilitas seseorang.
B. Potret
Prilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik
Prilaku birokrasi di Indonesia, baik
di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat
sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas
yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara
tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban,
berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur
dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih
jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa
birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi
akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang
politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di
Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat
bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson
dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara
tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai
proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui
paksaan.
Dengan demikian birokrasi di
Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya
inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati.
Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan
pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan
membesar.
Selain fenomena di atas,
ada juga yang menarik dari prilaku birokrasi khususnya ditampilkan dalam kinerja
PNS, yaitu persoalan motivasi, kinerja PNS dalam keseharian pekerjaannya,
mekanisme kerja dan beban kerja. Di satu sisi, PNS dihadapkan pada mekanisme
kerja dan beban kerja yang rutin, di sisi yang lain PNS menghadapi dinamika
persoalan masyarakat dan tuntutan pelayanan yang tidak mengenal batas waktu.
Selanjutnya yang menarik adalah PNS diharapkan menjadi teladan masyarakat untuk
mentaati berbagai aturan maupun kebijakan pemerintah.
Dalam posisi ini PNS
merupakan ujung tombak proses promosi birokrasi, artinya: sebaiknya otoritas
dan kewenangan PNS memang digunakan untuk melayani masyarakat, sehingga konsep
pelayanan masyarakat menjadi bagian integral sosok PNS. Pada sisi yang lain,
muncul beban panutan yang berimplikasi pada pemanfaatan kekuasaan sebagai
aparatur birokrasi. Beban yang dimaksud adalah status aparatur terbawa sampai
ruang sosial, hal inilah yang menjadikan PNS lebih suka dihormati dari pada
menghormati.
Di samping itu, ada sisi paradoks
yang meliputi persoalan kinerja birokrasi, dua hal tersebut adalah berkuasa
atau melayani. Kedua hal tersebut mengisyaratkan kompleksitas persoalan yang
tak kunjung usai. Setidaknya ada tiga identifikasi persoalan (Albrow M., (1996).
Pertama, Tidak berjalannya reward and punishment hal ini
dibuktikan dengan banyaknya PNS yang dihukum karena perbuatnnya tetapi hukuman
tersebut tidak menjadikan PNS jera, justru pelanggaran demi pelanggaran muncul.
Artinya, konsep insentif yang ditawarkan hanya mendorong persoalan baru karena
disinsentif tidak diberlakukan secara tegas. Kedua, Kegagalan
menjadi Role model (tokoh panutan) dalam perspektif sosiologi diartikan
ke dalam tiga aspek codes (alasan bertindak) PNS gagal bertindak karena
tidak cukup mempunyai alasan yang jelas, aspek context (ruang dan waktu)
PNS gagal memahami ruang dan waktu dan Institution (representasi
organisasi sosial) PNS gagal mewakili organisasi sosialnya. Ketiga, Politisasi
PNS, bukan lagi rahasia ketika PNS diidentikan dengan parpol yang berkuasa
karena selama ini PNS selalu dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh
parpol.
C.
Revolusi Mental Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan
Publik
Salah satu faktor utama yang berperan dalam mewujudkan
keberhasilan pelayanan publik adalah birokrasi. Birokrasi memegang
peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan
publik serta dalam evaluasi kinerjanya. Revousli mental menurut Jokowi dalam
kegiatan kampanye adalah membangun jiwa, karakter, sikap, prilaku dan budi
pekerti masyarakat Indonesia atau pembangunan karakter dan mental serta prilaku
manusia Indonesia(kompas.com). Sekaitan hal tersebut revolusi mental birokrasi adalah
membangun jiwa, mental, prilaku dan
karakter birokrasi dalam rangka penataan
ulang secara bertahap dan sistematis dengan correct dan perfect atas
fungsi utama pemerintah demi kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang
kualitasnya semakin meningkat, meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien
dengan tata laksana yang jelas (transparan), diisi SDM yang profesional,
mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayan publik
yang prima.
Untuk menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif
serta responsif dalam rangka mendukung tata kepemerintahan demokratis dan
ekonomi nasional, pemerintah seharusnya menerapkan strategi kelembagaan
reformasi birokrasi dengan tujuan memantapkan kelembagaan reformasi birokrasi,
meningkatkan pelayanan publik dan membangun kapasitas aparatur negara untuk
menciptakan organisasi dan SDM aparatur yang profesional, apolilitik, netral,
transparan dan akuntabel. Sebagai penegasan reformasi birokrasi, maka dalam
pendayagunaan aparatur negara, implementasi kebijakan dan programnya harus
terus menerus selalu menunjang terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik
(Tamin, 2004).
Untuk itulah salah satu faktor penting dalam revolusi
mental birokrasi adalah pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur yang dalam hal
ini melakukan pengangkatan dan penempatan pegawai dalam jabatan baik struktural
maupun fungsional. Langkah yang dilakukan adalah melakukan pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil dalam jabatan struktural dengan baik sehingga menghasilkan
penyelenggaraan organisasi yang sehat, namun sebaliknya kesalahan dalam proses
pengangkatan dalam jabatan struktural akan memberikan dampak yang tidak sehat
antara lain tidak tercapainya tujuan organisasi, hubungan kerja yang tidak
harmonis, cara kerja yang tidak efektif dan efisien, serta penyimpangan
prosedur kerja. Oleh karena itu kegiatan pengangkatan dalam jabatan struktural
haruslah mengambil semangat “The right man on the right place”.
Salah satu kegiatan yang paling penting dalam manajemen
sumber daya manusia adalah kegiatan untuk menempatkan personil dalam organisasi
yang tepat, karena untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan personil yang
cakap, terampil dan berkualitas serta kuantitasnya yang sesuai dengan
kebutuhan. Perekrutan merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh sumber daya
manusia dari berbagai sumber sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan sehingga
mampu mencapai visi dan misi organisasi. Dubois dalam Suwanto dan Priansa (2011)
menyatakan bahwa rekrutmen adalah proses menarik sebanyak mungkin kualifikasi
pelamar untuk lowongan yang ada dan bukan antisipasi. Ini merupakan pencarian
bakat, pengejaran kelompok terbaik pelamar untuk posisi yang tersedia.
SDM yang ingin dibangun adalah
PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS
yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif,
transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat,
jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban
kerja yang ada di masing-masing instansi pemerintah), penerapan sistem
merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem
diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir
terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen
kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database
kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang
layak dan adil, menuju manajemen modern.
Dengan demikian akan
memunculkan pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan
berdampak pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia.
Tantangan yang dihadapi di bidang kelembagaan, adalah menata ulang struktur
organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan
perangkat kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada
peningkatan pelayanan masyarakat. Hal ini menuntut penyediaan sarana dan
prasarana pemerintahan yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima. Di
bidang ketatalaksanaan, tantangan yang dihadapi adalah kualitas dan
transparansi pelayanan masyarakat yang kurang adaptif terhadap
perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu
diperlukan penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan di daerah. Bidang sumber daya
manusia aparatur menghadapi tantangan untuk mengembangkan sistem perencanaan
Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan
perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika
dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tuntutan
terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme
(KKN) dan lebih profesional.
Selain itu rekritumen
personal yang akan mengisi lowongan dilingkup pegawai negeri (PNS) yang
dilakukan penataan pasca moratorium penerimaan CPNS, diharapkan melahirkan CPNS
yang profesional dengan mental memberi pelayanan publik yang berkualitas.
Berlakukanya UU No 5 tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (ASN) diharapkan juga
bisa mengubah mindset dan prilaku pegawai apartur sipil negara yang terdiri
dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perintah Kerja.
Hal yang tidak kalah
penting dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat
struktural harus betul-betul mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat
struktural atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang, bukan karena
kedekatan-kedekatan tertentu dengan pejabat atau sistem like and dislike sperti pola rekruitment dengan spoil system. Rekruitmen atas kehendak
dari shadow government (pemerintah
bayangan) atau local strong man yang biasa
berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala daerah (gubernur,
bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi.
Best practise revolusi
mental dalam rekrtutmen pejabat struktural adalah model lelang jabatan seperti yang
diterapkan di DKI. Dengan memberikan kesempatan kepada pegawai negeri yang
memenuhi syarat kepangakatan untuk diuji kelayakan dan kepatutatannya untuk
menduduki jabatan yang tersedia adalah model yang bisa ditiru oleh seluruh
pejabat di daerah dalam rangka melakukan revolusi mental sebagai upaya optimal
dalam meningkatakan pelayanan. Karena pejabat yang terpilih melalui lelang
jabatan akan merasa memiliki amanah yang lebih tinggi dan bertanggungjawab
kepada publik atas jabatan yang diberikan sehingga pelayanan publik akan
diterapkan dengan optimal.
D. Kesimpulan
Revolusi mental birokrasi adalah pembenahan sistem dan
mental aparatur birokrat dalam upaya meningkatakan pelayanan publik. Revolusi
mental birokrasi adalah membangun jiwa,
mental, prilaku dan karakter birokrasi dalam rangka penataan ulang secara bertahap dan sistematis
dengan correct dan perfect atas fungsi utama pemerintah demi
kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang kualitasnya semakin meningkat,
meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas
(transparan), diisi SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada
masyarakat serta menghasilkan pelayan publik yang prima.
Point
utama dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat
struktural yang mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat struktural atas dasar kapasitas
dan kapabilitas seseorang, bukan karena kedekatan-kedekatan tertentu dengan
pejabat atau sistem like and dislike
sperti pola rekruitment dengan spoil
system. Rekruitmen atas kehendak dari shadow
government (pemerintah bayangan) atau local
strong man yang biasa berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala
daerah (gubernur, bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi.
Lelang
jabatan sebagai bagia best practise dalam revolusi mental birokrasi dalam
rekruitment pejabat struktural merupakan salah satu upaya optimal dalam rangka
revolusi mental birokrasi dalam kerangka optimalisasi pelayanan publik.
Daftar Pustaka
Buku
Albrow
M., (1996), Birokrasi, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Ratminto
& Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen
Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rosyadi,
Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Gava Media,
Yogyakarta.
Tamin,
Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara.
Blantika, Jakarta.
Sumber
Lain
Argama
R., (2007), Reformasi
Birokrasi dalam Perkpektif Adminitrasi Pembangunan (Makalah), Universitas
Indonesia, Depok.
UU
No 5 Tahun 2014 tentang Aapartus Sipil Negara
http://kompas.com/berita/kampanyepilpres. di unduh tanggal
25 desember 2014
-----------------
Foto :rekangambar.com
-----------------
Foto :rekangambar.com
Sabtu, 04 April 2015
Dinamika Perubahan UU Pemerintahan Daerah
Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali
terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama
kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun
1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan
perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi
kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir
adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2
Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Berbagai dinamika dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut
mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan
Indonesia tentu menerapkan pembagian
urusan pusat dan daerah dengan tetap mengacu pada pola desentralisasi,
dekonsentrasi dan medebewind.
Perubahan kebijakan
hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu pada ultra vires doctrine (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang
diberikan kepada daerah) dan risidual
power atau open end arrengement (konsep
kekuasaan asli atau kekuasaan sisa)[1].
Ultra vires doctrine lebih terasa
pada pola sentralisitik sementara residual
power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual
power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa
diterapkan dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara kesatuan
kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.
Pola hubugan pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor
5 tahun 1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU
Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra vires doctrine karena
kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU Nomor
22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang diberikan
bersifat residual power atau open and arrengmet atau general competence[2]
karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali urusan yang ditangani oleh pemerintah pusat,
yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri,
peradilan, dan agama
Selain itu sistem
pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia juga
menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris[3].
Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada
pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua).
Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa)
Perubahan Kebijakan dalam berbagai Perspektif
Perubahan kebijakan dalam hubungan pusat dan daerah tidak bisa
dilepaskan dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa
baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak
terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka
kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme[4].
Hal ini sejalan yang
dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan menjadi
masalah agenda-setting, kondisi penting
bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik[5].
Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca
pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi
masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan
pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999
yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada
keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU
sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah
untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Selain persoalan agenda setting seperti dikemukan diatas, Geoffry
Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan
kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999 melihat lebih lengkap menguraikan variabel
perubahan kebijakan dalam sebuah negara. Bahwa ada empat variabel utama dalam
perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan),
institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[6]
Empat variabel ini dapat membantu
melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di
Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca
tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa Indonesia lebih
demokratis. Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh
Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat. Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga
terasa dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest
masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami
masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan
federalisme. Sementara institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan
dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. khususindividu-individu
khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan
pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isu-isu federalisme tidak semakin
luas diteriakkan di daerah.
Pokok
Perubahan UU Pemerintahan Daerah
UU
No 5 Tahun 1974
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam
UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong kearah sentralistik. Beberapa karateristik
yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974,
yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang
bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah
diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II
sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi,
kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II
dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri
Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat
sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan
langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat
terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah.
Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu,
diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat
berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati
Pemerintahan di Jakarta. [9]
Meskipun harus diakui bahwa UU
No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi
adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi
pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan
antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi
terhadap pemerintah pusat.
UU No 22 Tahun 1999
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak
menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu
Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun,
2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah
Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini
masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU
Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah
Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu
Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan
Rakyat. Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota,
bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat,
Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat
Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari
pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without
Funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana
Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau
pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan
kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti
dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22
tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang
seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk
menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal
dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.
Dari UU No 22 tahun 1999 terdapat kesan kuat bahwa pusat memberikan kewenangan pada daerah. Pada kondisi tersbut mungkin terbaca bahwa pusat mulai mengakomodasi tuntutan daerah. Pemberian kewenangan daerah dalam skema otonomi daerah, bisa dibaca sebagai konsekuensi dari menurun daya kemampuan pusat untuk mengendalikan daerah, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur diri sendiri. Pada kontek lain munculnya berbagai konflik di daerah terdapat kesan bahwa pusat seakan-akan hendak memindahkan pesoalan dalam ke masing-masing wilayah
Perubahan pengelolaan pemerinah
daerah juga dilihat dalam era pasca-desentralisasi. Perubahan tersebut terlihat secara signifikan dalam keberadaan DPRD. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, DPRD diberi
peran dominan
vis-à-vis kepala daerah di pemerintahan
daerah. Tujuan utamanya
adalah untuk membawa pemerintahan
lokal yang demokratis di berbagai daerah melalui, antara lain, pemberdayaan
DPRD sebagai wakil masyarakat lokal dan sebagai
lembaga yang memiliki wewenang untuk
menahan kepala daerah bertanggung jawab atas kinerja mereka[10].
Di deberapa daerah, terjadi
penguatan terhadap fungsi DPRD bahkan terlihat terjadi legislatif heavey dimana
kepala daerah “kewalahan” menghadapi DPRD, apalgi kalau kepala daerah berasal
dari partai berbeda dengan partai mayoritas di DPRD. Bahkan seolah-olah terjadi
devided government (pemerintahan
terbelah) akibat kepala daerah tersandra dengan DPRD.
UU 32 tahun 2004
Antara UU 32 tahun 2004 dengan UU No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada
perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam
perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open arrangement
karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat konkruent. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab.
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan
daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah,
perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian
perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan
dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal
adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI
Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini
secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja
dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan
wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah yang
bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat
juga diatur dengan UU tersendiri.
Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan
kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya
berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut
“kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama
Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan
tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang
berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU
No 23 Tahun 2014
Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan
pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan
pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen
dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan
pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan
yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum
adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya
dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan
daerah
Selain persoalan filosofis dalam urusan
pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga
ada perbedaan yuridis. Perbedaan
yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak
diatur dalam UU sebelumnya. Perbedaan
secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur
tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah
diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada
dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan
isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan
perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.
Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme
pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi
Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit
antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan
dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih
langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang
juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang
sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang
mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang
berbeda.
Mengapa
Berubah
Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan
kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan
negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam melihat dinamika perubahan
pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa
pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam
melihat dinamika perubahan kebijakannya.
Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan
pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh
Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin
unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh
perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan
yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika
perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan
kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan,
maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan
diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall
bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan
orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan
orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa
pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang
pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan
jaringan-jaringan kebijakan.
Perubahan-perubahan kebijakan ‘orde
ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika tiga-dimensi dan spatial,
yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel. Dinamika ini bisa kompleks,
namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan antara mereka, terlihat krusial. Variabel-variabel penentu utama dari
perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests
(kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu
(individu-individu)[11]
Empat I ini
kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat dalam
aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi
UU Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan
pusat dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke
arah desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan
pola ultra vire doctrine atau residual power hal ini terlihat betapa
banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.
Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Namun yang paling mejadi perhatian adalah soal
insterest, perubahan kebijakan pemerintah daerah adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah.
Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara
negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan
keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan
potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan
bertanggung jawab.
Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia. Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.
Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya menjadi jelas[12]. Perubahan pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan.
Sementara Peter John melihat bahwa pengaruh
institusional, pilihan rasional, jaringan, pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional
bahwa teori evolusi mungkin
berguna mengungkap proses mikro-tingkat
di tempat kerja, khususnya karena beberapa tiga kerangka
mengacu pada model dinamis dan metode, apa yang dikemukakan oleh
Peter John juga terlihat dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah di
Indonesia, bahwa pilihn rasional akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open arrangement merupakan
pilihan rasional yang diambil oleh negara khususnya pemerintah pusat dalam
memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU
Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Pemikiran Stefaan Walgrave tentang
perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam perubahan pemerintahan daerah,
Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah
agenda-setting, kondisi penting bagi
perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan
daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi
tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian
pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah
yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001.
Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang
lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat
sentralisitik dianggap gagal dan
cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari
negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Kesimpulan
Dinamika perubahan kebijakan pemerintahan daerah di
Indoensia pasca reforrmasi mengalami dari UU 5 tahun 1975 menjadi UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004
dan UU 23 tahun 2014 dari aspek yuridis dan filosofis mengalami pergeseran dari
ultra vires doctrine (merinci satu
persatu urusan yang diserahkan ke daerah) menjadi open and arrangement atau residual
power (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan
sisa).
Faktor perubahan UU pemerintahan
daerah relevan dengan konsep yang dikemukakan oleh Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson bahwa Four I (yakni ide-ide,
interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan
individu-individu (individu-individu) terjadi dalam pemerintahan daerah di Indonesia
Selain itu Peter
John juga melihat bahwa pilihan rasional juga menjadi bagian dalam perubahan
kebijakan pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi
secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999
maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Stefaan Walgrave
yang melihat bahwa bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah
agenda-setting, kondisi penting bagi
perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan
daerah tidak bisa dilepaskan agenda setting reformasi pasca pemerintahan
Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka
kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat
dan daerah yang melahirkan berbagai
perubahan UU Pemerintahan Daerah.
[1]
Hanif, Teori dan Parktek Pemerintahan,
Grafindo, Jogyakarta, 2003
[2]
Idem
Yogyakarta,
Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[4]
Relasi hubunga pusat dan daerah, Lapera, 2002 Jogyakarta
[5]
Stevaan
Walgrave, Governance: an International Journal of Policy, Administration, and
Institutions, Vol 21, No 3 july 2008 (pp.365-395)
[6] Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson, Simultaneously
published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY
10001
[7] Peter John, Is
there life after policy stremas, advocacy
caolitions, and punctuations : using evolutionary theory to explain
policy change, The Policy Studies Jurnal, Published by blackwell publishing.
Inc..350
[8] Wilson, Carter A. 2000. “Policy
Regimes and Policy Change.” Journal of Public Policy 20(3): 247-274.
[9] Syaukani,
dkk (Syaukani, dkk, 2009:145- 150),
[10] Mudiyati, Decentralization
and Democratization in the Post Suharto
Era: Lessons from Kota Cirebon, West Java, Indonesia, http://asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Decentralization_and_Democratization_in_the_Post.pdf
[11]
Geoffry Duedly dan Jeremy
Ricadson, Simultaneously
published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY
10001
[12]
idem
Langganan:
Postingan (Atom)