Jadilah Satu Diantara Seribu - Meski Tidak Banyak Tapi Bermakna
- See more at: http://www.fathurrizqi.com/2013/09/membuat-slideshow-headline-news-blog.html#sthash.1Esja35t.dpuf

Minggu, 07 Februari 2016

Dasar-Dasar Kepemimpinan




Born to Leaders, Leaders are Born and not made, Leaders are made and not Born, term tersebut bermaksud untuk menjelaskan asal mula kepemimpinan. Dalam teori kepemimpinan terdapat 3 (tiga) aliran utama yang menggambarakan muasal suatu kepemimpinan, pertama bahwa seorang dapat memimpin karena ia lahir dengan bakat-bakat kepemimpinan (teori genetik), kedua bahwa seorang dapat memimpin jika memiliki pendidikan dan memperoleh kesempatan (teori sosial); ketiga, seorang dapat menjadi pemimpim jika memiliki bakat-bakat yang bersifat genetis, tetapi itu hanya bersifat potensi yang harus dikembangkan lebih lanjut melalui pendidikan, pengalaman dan kesempatan (teori ekologis).

»»  read more

Relasi Negara - Masyarakat Kota Makassar dalam Era Reformasi


Dasar Pemikiran 

Perdebatan yang menjadi aktual dalam dekade pasca tumbangnya era otoriterian orde baru adalah negara dan masyarakat. Posisi dua term ini menjadi begitu hangat dan menarik bukan hanya dalam negara ketiga seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang modernisasi telah maju.

»»  read more

Rabu, 20 Januari 2016

Partisipasi Politik Masyarakat dalam Era Reformasi (Studi Kasus Kota Makassar)




A.    Abstraksi

Studi Partisipasi politik telah banyak dilakukan oleh kalangan ilmuwan politik, baik dalam negara berkembang maupun di negara maju. Hasil studinyapun tidak terlalu banyak perbedaan dalam suatu wilayah, baik dari segi kualitas, model, bentuk maupun faktor yang berpengaruh dalam berpartispasi.
Tulisan dibawah ini mencoba mengejewantahkan hasil studi partisipasi masyarakat Indonesia (Kota Makassar)  pasca tumbangnya orde baru. Faktanya, masyarakat dalam era reformasi mengalami perubahan dalam partisipasi politik , terutama dalam model dan sifatnya. Pada era orde baru partisipasi lebih cenderung menjadi fsudo participation, namun dalam era reformasi model dan bentuk partisipasi sudah lebih mengarah menjadi partisipasi otonom. Model partisipasi semu dan mobilisasi berangsur-angsur menjadi partisipasi otonom.  Selain itu perubahan sistem ketatanegaraan mempengaruhi masyarakat dalam partisipasi, sehingga dengan perubahan sistem politik membawa perubahan terhadap sikap dan orientasi politik warga.


»»  read more

Kamis, 28 Mei 2015

Rahasia Dosen yang Wajib Diketahui Mahasiswa

Walau bukan tulisan saya tapi diposting di blog ini, karena beberapa diantaranya menggambarkan pribadi saya,he..he, kecuali nomor 8, 18 dan 20

Hubungan dosen dengan mahasiswa kerap kali berlangsung rumit (ciyus!). Kadang, dua manusia beda usia itu bisa sangat mesra. Mereka seperti sepasang kekasih yang kompak bergandeng tangan di taman penuh bunga. Saling memuji, saling menguatkan. Mereka adalah tim yang saling melengkapi. Tapi, kadang-kadang hubungan mereka juga memanas. Keduannya terjebak pada syak wasangka. Si dosen menganggap mahasiswa tak kooperatif dan kurang sungguh-sungguh belajar. Adapun mahasiswa kerap mencurigai dosen sebagai makhluk abad 16 yang tidak bisa mengerti visi hidup anak muda. Kesalahpahaman itu dipicu oleh perbedaan perspektif. Karena itu, supaya kamu bisa kenali dosen dengan lebih baik, kesalahpahaman seperti itu tidak harus terjadi. Ketahuilah 20 sifat mereka ini.

1. Bukan Makhluk Serba Tahu
Dosenmu mungkin sudah bergelar profesor. Dia memanfaatkan sepertiga waktu yang dimilikinya untuk membaca buku. Tapi, dosen bukan makhluk serba tahu. Dia juga bukan pembaca pikiran seperti Charles Francis Xavier. Dosen memang menghabiskan waktu puluhan tahun untuk belajar, dari S1 sampai S4 (program postdoktoral, adakah?). Tapi, bidang yang mereka tekuni biasanya sangat spesifik. Seorang dosen kedokteran mungkin hanya mempelajari telinga. Lebih spesifik lagi, mungkin dia hanya mempelajari telinga bagian dalam. Lebih spesifik lagi, mungkin dia cuma mempelajari telinga bagian dalam khusus telinga kiri. Lebih spesifik lagi, mungkin cuma telinga dalam bagian kiri khusus perempuan. Maka, tidak baik menanyakan semua hal pada mereka. Apalagi menanyakan sesuatu yang jelas-jelas tidak mereka ketahui. Jangan tanya pada dosen ekonomi soal morfologi tanah. Sebab, yang dia tahu justru harga jual tanahd dan perilaku makelar.

2. Mungkin Kelelahan
Di sejumlah perguruan tinggi, rasio dosen dan mahasiswa belum cukup ideal. Ini membuat dosen harus mengajar lebih banyak kelas dari yang seharusnya. Pada sore hari mereka mungkin sudah merasa lelah. Jangan salahkan mereka kalau mereka tiba-tiba terlelap tidur saat presentasi di depan kelas. Jangan protes. Beri dia udara yang cukup, agar silir dan makin anglerrr. Kalau perlu, ambilkan guling sekalian.

3. Senang Dialog Dosen
memang pihak yang relatif lebih menguasai kelas. Namun, mereka buka tipe penguasa yang memanfaatkan kekuasaannya secara totaliter. Sebaliknya, mereka ingin mendapat respon balik dari kamu, mahasiswa. Mereka ingin kamu berpendapat, memulai diskusi, debat, atau apap pun yang memungkinkan dialog. Kalau tidak ada respon dari mahasiswa, dosen akan merasa patah hati, persis seperti bujang yang ditolak janda kembang.

4. Tidak Hafal Nama Tiap Mahasiswa 
Dalam sebuah kelas, jumlah mahasiswa mungkin bisa mencapai 30 orang. Padahal dalam satu semester seorang dosen bisa mengajar hingga 10 kelas. Artinya, ada 300 wajah baru yang harus dihafal. Ini tugas yang berat. Maka, jangan tersinggung kalau dia tidak hafal namamu. Kecuali kalau kamu adalah mahasiswa istimewa yang sejak awal menyita perhatiannya.

5. Tidak Baca Semua Makalahmu
Percayalah, dosen tidak membaca makalahmu dari sampul hingga daftar pustaka. Kalaupun membaca, mereka akan melakukannya secara cepat.

6. Teliti Karena Terlatih 
Meski tidak membaca seluruh bagian makalahmu, dosen selalu bisa menemukan bagian-bagian yang keliru dari makalahmu. Bukan karena mereka diberkati bakat seperti cenayang, tapi karena mereka terlatih selama puluhan tahun. Dengan membaca bagian-bagian tertentu saja, dia bisa membuat diagnosis terhadap makalahmu.

7. Berusaha Disiplin 
Ada dosen yang jarang sekali masuk kelas. Ini bukan karena mereka malas. Mereka biasanya memiliki tugas tambahan. Misalnya, meneliti, mengadakan pengabdian, atau menulis buku. Di balik semua itu, mereka berusaha mendisiplinkan diri. Mereka telah membuat jadwal yang ketat agar bisa masuk kelas sesering mungkin. (Note: Penjelasan nomor 7 ini boleh diragukan keabsahannya).

8. Dosen Proyektor 
Dari sekian banyak dosenmu, kamu akan mendapati ada tipe dosen proyektor. Inilah jenis dosen yang justru disibukkan urusan proyek. Dosen tipe ini memanfaatkan setiap akademik sebagai sumber penghasilan. Yang mereka pikirkan adalah uang. Ya uang lelah, uang kemeng, uang berkeringat, uang bernafas, sampai uang bersin. Dosen tipe ini suka mengambil sebgain dana penelitian untuk keperluan pribadi. Yang begini ini biasanya suka sekali bikin proposal program pengabdian masyarakat. Iya, “pengabdian”.

9. Bisa Kamu Salip Percayalah,
tidak semua dosen adalah pembaca buku yang baik. Kalaupun mereka suka membaca, energy dan waktunya mungkin terbatas. Kamu bisa menyalip kemampuan dosenmu dengan membaca buku lebih banyak dari mereka.

10. Paling Benci dengan Kopas 
Ada dua hal yang paling dibenci dosen. Satu, gajinya telat. Dua, melihat tugas hasil kopi paste (kopas). Bagi para dosen, mahasiswa yang melakukan plagiasi berarti telah melakukan kejahatan intelektual. Hukumannya sangat berat.

11. Hafal Kelakuan Para Pencontek 
Dosen yang mengajar selama belasan tahun sudah berpengalaman ribuan kali mengawasi ujian. Pengalaman panjang ini membuat mereka hafal betul kelakuan mahasiswa yang nyontek. Dari yang nyontek pake hape, nyontek pake kertas dilinting, sampai yang menuliskan kunci jawaban di paha: dosen tahu. Para pencontek, sebagaimana para pembohong lain, selalu menunjukkan tingkah aneh. Ekspresi wajah mereka selalu tanggung: senang tidak, sedih juga enggak. Para pecontek berusaha memfokuskan pandangan, tapi pandangan mereka justru tampak buyar. Selain itu, para pecontek selalu mengawasi penguji. Ini membuat suasana ruang ujian kerap kali tertukar: mahasiswa yang justru terus menerus mengawasi dosen.

12. Tidak Selalu Jujur 
Ini penting diketahui. Tidak semua perkataan dosen adalah kebenaran. Dosen tertentu mungkin memiliki sesuatu yang dirahasiakan. Entah tentang kehidupannya, entah tentang gaya hidupnya di luar kampus, atau soal pandangan politiknya. Mahasiswa yang kritis akan bisa membedakan, mana ucapan dosen yang jujur dan bisa dipercaya dan mana ucapan yang meragukan sehingga perlu dikonfirmasi.

13. Mereka Memperhatikanmu 
Betapa pun mereka tidak hafal namamu, dosen selalu berusaha memperhatikanmu. Dosen ingin melihat bakat yang kamu simpan. Seorang pendidik memiliki kecenderungan alami untuk peduli. Maka, dari depan kelas sesekali dia akan mengalihkan pandangan ke arahmu. Dia ingin mencari tahu, potensi apa yang bisa dikembangkan dari diri kamu.

14. Sepatu Sobek dan Kemeja Jadul
Dosen statistikmu mungkin beda cahsing dengan dosen komunikasi. Dia bisa benar-benar abai pada penampilan fisiknya. Dosen laki-laki mungkin tidak pernah perhatikan sepatunya begitu kusam, bahkan sobek. Mungkin juga, dia hanya punya beberapa kemeja sehingga mamakainya secara berurut-turu dalam 2 hari. Adapun dosen perempuan, mungkin tidak suka bermake-up. Dia juga ogah menggunakan sepatu hak tinggi seperti Ketty Perry. Selama mereka tetap mandi sebelum ngajar, maklumilah mereka.

15. Ingin Hubungan Personal Lebih Dekat 
Dosen sastra Universitas Indonesia (UI) Maman S Mahayan pernah dicueki mahasiswanya saat ia baru mulai mengajar di Korea. Mahasiswa di kelasnya satu per satu pergi meninggalkan kelas. Tentu saja itu membuatnya sedih. Maman kemudian mengundang para mahasiswa untuk makan malam di apartemennya. Bagi Maman, itu kesempatan yang baik untuk mengenali mahasiswanya secara lebih dekat. Jika hubungan personal sudah mulai terjalin, komunikasi dengan mahasiswa bisa segera diperbaiki. Dosen juga bisa memilih strategi belajar yang lebih tepat.

16. Beda, Dosen Laki-laki dan Perempuan 
Meski sama-sama berprofesi sebagai dosen, tetap ada perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan dasar ini perlu diketehaui mahasiswa. Dosen laki-laki mungkin suka humor berbau seks. Kalau mendapati sesuatu yang lucu, dia akan tertawa terbahak-bahak. Dia juga tidak akan ragu melakukan kontak fisik dengan salaman, tos, atau menepuk bahu. Hal-hal seperti itu mungkin kurang disukai dosen perempuan. Umumnya mereka tidak senang dengan anekdot seks (meski tetap suka seks). Ini tentu saja lumrah. Sebab, sebagian anekdot bertema seks cenderung seksist, menempatkan perempuan sebagai bahan olok-olok. Kecuali kamu sesakti Stifler, berhati-hatilah.

17. Bukan Feodal 
Sebagai kelompok terdidik, dosen menginginkan hubungan selalu terjalin dengan sehat. Salah satu cirri hubungan sehat adalah egaliter, tidak ada intimidasi satu dengan lainnya. Mereka ingin kamu menghormatinya, tapi bukan dengan ekspresi-ekspresi feodalistik. Maka, tidak perlu ngesot saat jalan di depannya. Kamu juga tidak harus selalu cium tangan. Apalagi kalau kamu sudah seminggu kena flu.

18. Siap Bertukar Buku
Dosen Sastra Undip Redyanto Noor membuka rumahnya di akhir pekan bagi mahasiswa. Dia juga mempersilakan mahasiswa membaca dan meminjam buku koleksinya. Tapi dia sedih, sebagian bukunya tidak kembali. “Cuma dosen gila yang rela bukunya dipinjam mahasiswa. Tapi ya cuma mahasiswa gila yang mau kembalikan buku ke dosennya,” kelakarnya.

19. Ingin Memberimu Kebebasan 
Dosen tidak selalu ingin menguasai pikiranmu. Sebaliknya, dosen ingin mengajakmu ke dunia berpikir yang bebas. Jangan sampai rasa hormatmu membuatmu tidak enak hati mendebat dosen, kalau dia keliru. Dosen akan senang kalau dengan argumen yang tepat, kamu justru bisa memberinya koreksi. “Aku menang justru ketika anakku bisa mengalahkanku,” kurang lebih begitu pikirian para dosen – mengutip kalimat dalam sebuah iklan.

20. Presentasi Peninggalan Zaman Majapahit 
Beberapa dosen mungkin sudah piawai menggunakan power point untuk presentasi di kelas. Ada yang sudah makek Prezi malah. Tapi, ada juga dosen yang masih menggunakan OHP Projector. Kalau kamu menemukan itu, kamu tidak perlu mengolok-oloknya. Nikmati saja perkuliahan. Bayangkan bahwa kamu sedang diajari oleh mahaguru dari zaman Majapahit.

21. Selalu Menunggu Diajak Makan Siang 
Usai kuliah, mainlah ke ruang dosen. Ajak dia ke kantin kampus dan tawari dia makan siang. Percayalah, asal dia belum makan, dia akan menerima tawaranmu. Kesempatan makan siang bersama mahasiswa selalu ditunggu dosen untuk mencairkan suasana. Kesempatan itu dimanfaatkan dosen untuk menunjukkan sisi humanisnya. Jangan kaget kalau dosenmu ternyata suka pete, ya. Juga jangan kaget kalau porsi makannya tiga kali lipat dari kebanyakan orang.

22. Pernah Hidup Susah 
Dia mungkin naik Mercedes Benz ke kampus. Tapi percayalah, mereka tidak terlahir di kotak berjalan itu. Mobil bagus itu juga bukan warisan dari ayahnya. Mereka membeli mobil bagus setelah menabung bertahun-tahun.

23. Memantau Setelah Kamu Lulus 
Petani selalu ingin melihat apakah tanaman yang ditanamnya tumbuh dengan baik atau tidak. Dosen juga seperti itu. Dia ingin tahu, apakah mahasiswa yang didiknya sudah berhasil atau belum. Mereka mungkin tidak akan menghubungimu melalui telefon, tapi sesekali dia akan mengetikkan namamu di Google. Dia berharap mesin pencari itu membawa kabar baik.

24. Senang Mendengar Kabar Dari Kamu
Kalau kamu sudah lulus, sudah bertahun-tahun tidak ketemu dosen, sempatkanlah memberi kabar. Mereka akan senang mendengarnya. Tidak harus selalu kabar besar yang kamu sampaikan. Kabar yang sederhana pun cukup membuatnya senang. “Sekarang saya sudah menikah dan tinggal di Bandung, Pak,” misalnya, Atau, “Saya baru saja menemukan bunga mawar putih. Tiba-tiba saya ingat Ibu. Di salah satu perkuliahan, ibu pernah mengajak kami ke laboratorium untuk mengulas tentang klorofil.”

25. Berdoa untuk Kebaikan Kamu
Ada tiga doa yang selalu dipanjatkan seorang dosen usai mereka beribadah. Pertama, dia meminta Tuhan membantunya melunasi kredit rumah. Kedua, dia meminta Tuhan membantunya mencukupi tagihan pendidikan anak. Ketiga, dia meminta Tuhan membantu mahasiswanya agar dapat menjalani hidup dengan baik. Mereka mungkin tidak menyebut namamu satu persatu (sebab itu akan membuat doanya justru seperti acara wisuda), tapi dia mengharapkanmu bahagia. 

sumber : http://portalsemarang.com/inilah-25-rahasia-dosen-yang-wajib-diketahui-mahasiswa
»»  read more

Kamis, 16 April 2015

Kearifan Lokal dan Politik Sulawesi Tengah

Refrensi local wisdom khususnya di Sulawesi Tengah belum banyak berkontribusi terhadap “kekayaan” kahasanah budaya nusantara apalagi dalam ilmu politik. Hal ini terjadi karena kurangnya publikasi dan minat peneliti untuk mendalami tema-tema lokal khususnya Sulawesi Tengah. Riset dan kajian selama ini lebih banyak mengarah pada tema resolusi konflik terutama pasca konflik Poso di awal tahun 2000-an. Padahal cukup banyak konsep dan petuah-petuah lokal yang bisa dijadikan sebagai local wisdom di Sulawesi Tengah. 
 
Sebelum John Locke (1632-1704) mengeluaran Two Treatises of Government (1690) dan Montesquie (1689-1755) dengan Spirits of the Laws (1748)  yang kita kenal dengan konsep trias politica dipelajari dalam Sistem Politik Indonesia, di Luwuk sudah mengenal konsep Basalo Sangkep yang menghendaki agar kekuasaan tidak berada pada satu lembaga atau kelompok. Basalo merupakan lembaga yang mengangkat sekaligus sebagai pengawas raja dalam melaksanakan tugasnya. Basale Sankep terdiri 4 elemen

Di Kulawi Kabupaten Sigi atau di sekitar dataran tinggi Sulawesi Tengah dikenal konsep Bantaya yang mungkin memiliki kemiripan dengan meritokrasi seperti yang dikehendaki Aristoteles yakni dengan memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan untuk menjadi pemimpin tidak berdasar pada populer vote atau one man one vote one value.

Selain itu terdapat semboyang bahkan nilai-nilai kearifan lokal yang bisa dijadikan sebagai kohesi sosial. Semisal Sintuwu Maroso yang dijadikan sebagai perekat sosial bilaman terjadi konflik. Di Kota Palu sangat terkenal dengan konsep Nosarara Nosabatutu atau lebih lengkapnya “Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu” yang merupakan sebuah konsep kebijakan yang telah dibangun dan dipedomani oleh To kaili sejak berabad-abad lampau. Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu adalah suatu rangkaian dalam pengambilan keputusan yang melibatkan orang banyak atau seluruh komponen masyarakat kota Palu, dalam filosofi yang terkandung dalam local wisdom tersebut juga sebagai bagian dalam  merajut ikatan kekeluargaan sebagai dasar bangunan sosial politik yang kuat, selain itu juga berimplikasi terhadap pembinaan sosial ekonomi dan budaya

Namun local wisdom seperti itu belum terpublikasi dengan baik bahkan cenderung agak sulit lagi ditemukan dalam bentuk dokumentasi. Berangkat dari heteroginitas dan kekayan khasanah masyarakat Sulawesi Tengah tersebut mengilhami untuk mempublikasikan hasil kajian mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang memprogramkan mata kuliah Pemeritahan dan Politik Lokal dalam bentuk prosiding. Prosiding ini hadir tidak secara instan tapi melalui serangkaian proses, mulai dari pencarian tema, kemudian dilanjutkan dengan penulusuran data pendukung dari yang sudah terpublkiasi sampai pada data yang hanya dari sumber primer melalui interview narasumber yang dianggap mengetahui masalah yang diangkat.

Local Wisdom di Sulawesi Tengah
Menurut Mattulada dalam James S Davidson, (2010;348) bahwa di Sulawesi Tengah pada umumnya orang menganggap terdapat 12 kelompok etnik yang berdasarkan pengelompokan bahasa dan nama tempat pemukiman yaitu Kaili, Tomini, Pamona, Lore, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Banggai, Toli-Toli dan Buol.

Namun dalam prosiding ini kami hanya membahas 11 local wisdom dan politik local yang ada dalam etnik di Sulawesi Tengah tersebut yakni : Kota Palu dengan Nosarara Nosabatutu seperti dijelaskan secara ringkas diatas, kemudian Suku Pamona dengan Sintuwu Maroso; Etnis Lore dengan konsep Pakaroho Pohintuvu, Buol dengan Pakaroho Pohintuvu; Saluan dengan Imbo Momposaanggu Lima Mombangun  Tano; Suku Balantak dengan Rumpun Pitu Bense Pokok Bondolong; Suku Lauje dengan Sombo, Ponombo, Sinombo; Suku Mori dengan Koa Luwu Mepae Kompo; Suku Bungku dengan Tepeasa Moroso;  Toli-Toli dengan konsep Motongolipu Motimpedes Magau; Suku Banggai dengan Montolutusa; memang disadari bahwa ada beberapa local wisdom tersebut hanyalah sebagai simbol yang dipakai oleh Pemerintah setempat dalam menggelorakan sprit pembangunan.

Selain local wisdom kami juga menghadirkan konfigurasi politik masing-masing etnik dan bagaimana pengaruh mereka dalam dinamika politik di Sulawesi Tengah, penyebutan nama dan peran mereka tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau menjadikannya sebagai aristokrasi lokal yang bersifat heavy tetapi hanya sekedar melihat kontribusi dan peran mereka dengan bakcground etnik dalam dinamika politik Sul-Teng, dan juga tidak untuk membuat berhadapan secara vis a vis antara etnik yang satu dengan etnik yang lainnya.

-------------
Ket.  Pengantar dalam Prosiding Local Wisdom dan Politik Lokal Sulawesi Tengah, 
        Prosiding dapat dibaca di Perpustakaan FISIP Untad

Foto : republika.co.id
»»  read more

Kamis, 09 April 2015

Revolusi Mental Prilaku Birokrasi Indonesia

A.    Pendahuluan
Revolusi mental menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Selain menjadi jualan kampanye Jokowi-Jusuf Kalla yang mengantarkan pasangan ini meraih kemenangan juga sepertinya menjadi keharusan dalam memotret prilaku aparatur birokrasi (pegawai negeri sipil) khususnya dalam melakukan tugas utamanya dalam melakukakan pelayanan publik. 
Tidak bisa dipungkiri wajah birokrasi Indonesia ditampilkan dengan pembacaan yang kurang begitu menarik bagi masyarakat, kesan bertele-tele, lamban dalam memberika layanan sudah menjadi bahasa lumrah ketika masyarakat diminta opininya terhadap prilaku birokrasi, bahwa meski dalam beberapa kesempatan, pejabat publik menyerukan perlunya peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik, namun dalam realitasnya, seruan tersebut masih sekedar jargon (Rosyadi, 2010).
Banyak faktor penyebab pelayanan publik di negara ini menjadi lemah disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil. Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi bawahan mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Terjadi konflik antara pembuat kebijakan dan birokrasi bawahan sebagai pelaksana kebijakan. Di satu sisi para legislator dan pembuat kebijakan lainnya berupaya menciptakan tujuan-tujuan ideal ke dalam peraturan. Di sisi lainnya birokrasi bawahan berjalan dengan kepentingannya sendiri untuk memanfaatkan akses langsungnya terhadap klien. Maka diskresi peraturan yang dipraktekkan birokrat bawahan menjadi lazim.
Proses rekrtuitmen jabatan struktural juga ditengarai sebagai penyebab birokrat tidak berjalan maksimal dalam memberikan layanan publik. Rekriutmen tidak berdasarkan merit system tetapi berdasarkan atas spoil system yakni berdasarkan atas kedekatan-kedekatan tertentu atau karena like and dislike bukan karena kapasitas dan kapabilitas seseorang.
B.    Potret Prilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik
Prilaku birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.
Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar.
Selain fenomena di atas, ada juga yang menarik dari prilaku birokrasi khususnya ditampilkan dalam kinerja PNS, yaitu persoalan motivasi, kinerja PNS dalam keseharian pekerjaannya, mekanisme kerja dan beban kerja. Di satu sisi, PNS dihadapkan pada mekanisme kerja dan beban kerja yang rutin, di sisi yang lain PNS menghadapi dinamika persoalan masyarakat dan tuntutan pelayanan yang tidak mengenal batas waktu. Selanjutnya yang menarik adalah PNS diharapkan menjadi teladan masyarakat untuk mentaati berbagai aturan maupun kebijakan pemerintah.
Dalam posisi ini PNS merupakan ujung tombak proses promosi birokrasi, artinya: sebaiknya otoritas dan kewenangan PNS memang digunakan untuk melayani masyarakat, sehingga konsep pelayanan masyarakat menjadi bagian integral sosok PNS. Pada sisi yang lain, muncul beban panutan yang berimplikasi pada pemanfaatan kekuasaan sebagai aparatur birokrasi. Beban yang dimaksud adalah status aparatur terbawa sampai ruang sosial, hal inilah yang menjadikan PNS lebih suka dihormati dari pada menghormati.
Di samping itu, ada sisi paradoks yang meliputi persoalan kinerja birokrasi, dua hal tersebut adalah berkuasa atau melayani. Kedua hal tersebut mengisyaratkan kompleksitas persoalan yang tak kunjung usai. Setidaknya ada tiga identifikasi persoalan (Albrow M., (1996). Pertama, Tidak berjalannya reward and punishment hal ini dibuktikan dengan banyaknya PNS yang dihukum karena perbuatnnya tetapi hukuman tersebut tidak menjadikan PNS jera, justru pelanggaran demi pelanggaran muncul. Artinya, konsep insentif yang ditawarkan hanya mendorong persoalan baru karena disinsentif tidak diberlakukan secara tegas. Kedua, Kegagalan menjadi Role model (tokoh panutan) dalam perspektif sosiologi diartikan ke dalam tiga aspek codes (alasan bertindak) PNS gagal bertindak karena tidak cukup mempunyai alasan yang jelas, aspek context (ruang dan waktu) PNS gagal memahami ruang dan waktu dan Institution (representasi organisasi sosial) PNS gagal mewakili organisasi sosialnya. Ketiga, Politisasi PNS, bukan lagi rahasia ketika PNS diidentikan dengan parpol yang berkuasa karena selama ini PNS selalu dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh parpol.
C.    Revolusi Mental Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan Publik

Salah satu faktor utama yang berperan dalam mewujudkan keberhasilan pelayanan publik adalah birokrasi. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik serta dalam evaluasi kinerjanya. Revousli mental menurut Jokowi dalam kegiatan kampanye adalah membangun jiwa, karakter, sikap, prilaku dan budi pekerti masyarakat Indonesia atau pembangunan karakter dan mental serta prilaku manusia Indonesia(kompas.com). Sekaitan hal tersebut revolusi mental birokrasi adalah membangun  jiwa, mental, prilaku dan karakter birokrasi dalam rangka  penataan ulang secara bertahap dan sistematis dengan correct dan perfect atas fungsi utama pemerintah demi kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang kualitasnya semakin meningkat, meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas (transparan), diisi SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayan publik yang prima.
Untuk menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif serta responsif dalam rangka mendukung tata kepemerintahan demokratis dan ekonomi nasional, pemerintah seharusnya menerapkan strategi kelembagaan reformasi birokrasi dengan tujuan memantapkan kelembagaan reformasi birokrasi, meningkatkan pelayanan publik dan membangun kapasitas aparatur negara untuk menciptakan organisasi dan SDM aparatur yang profesional, apolilitik, netral, transparan dan akuntabel. Sebagai penegasan reformasi birokrasi, maka dalam pendayagunaan aparatur negara, implementasi kebijakan dan programnya harus terus menerus selalu menunjang terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (Tamin, 2004).
Untuk itulah salah satu faktor penting dalam revolusi mental birokrasi adalah pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur yang dalam hal ini melakukan pengangkatan dan penempatan pegawai dalam jabatan baik struktural maupun fungsional. Langkah yang dilakukan adalah melakukan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural dengan baik sehingga menghasilkan penyelenggaraan organisasi yang sehat, namun sebaliknya kesalahan dalam proses pengangkatan dalam jabatan struktural akan memberikan dampak yang tidak sehat antara lain tidak tercapainya tujuan organisasi, hubungan kerja yang tidak harmonis, cara kerja yang tidak efektif dan efisien, serta penyimpangan prosedur kerja. Oleh karena itu kegiatan pengangkatan dalam jabatan struktural haruslah mengambil semangat “The right man on the right place”.
Salah satu kegiatan yang paling penting dalam manajemen sumber daya manusia adalah kegiatan untuk menempatkan personil dalam organisasi yang tepat, karena untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan personil yang cakap, terampil dan berkualitas serta kuantitasnya yang sesuai dengan kebutuhan. Perekrutan merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh sumber daya manusia dari berbagai sumber sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mampu mencapai visi dan misi organisasi. Dubois dalam Suwanto dan Priansa (2011) menyatakan bahwa rekrutmen adalah proses menarik sebanyak mungkin kualifikasi pelamar untuk lowongan yang ada dan bukan antisipasi. Ini merupakan pencarian bakat, pengejaran kelompok terbaik pelamar untuk posisi yang tersedia.
SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi  pemerintah), penerapan sistem merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern.
Dengan demikian akan memunculkan pergeseran paradigma dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan berdampak pada sistem kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia. Tantangan yang dihadapi di bidang kelembagaan, adalah menata ulang struktur organisasi dengan prinsip rasional dan realistik (sesuai kebutuhan) dan perangkat kelembagaan yang lebih efektif serta efisien yang berorientasi pada peningkatan pelayanan masyarakat. Hal ini menuntut penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan prima. Di bidang ketatalaksanaan, tantangan yang dihadapi adalah kualitas dan transparansi pelayanan masyarakat yang kurang adaptif terhadap perubahan-perubahan dan tuntutan-tuntutan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penyempurnaan sistem ketatalaksanaan dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan di daerah. Bidang sumber daya manusia aparatur menghadapi tantangan untuk mengembangkan sistem perencanaan Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah sesuai hasil penataan struktur dan perangkat kelembagaan daerah. Konsekuensinya adalah pembentukan disiplin, etika dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tuntutan terhadap perwujudan aparatur pemerintah yang bebas Korupsi Kolusi. Nepotisme (KKN) dan lebih profesional.
Selain itu rekritumen personal yang akan mengisi lowongan dilingkup pegawai negeri (PNS) yang dilakukan penataan pasca moratorium penerimaan CPNS, diharapkan melahirkan CPNS yang profesional dengan mental memberi pelayanan publik yang berkualitas. Berlakukanya UU No 5 tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (ASN) diharapkan juga bisa mengubah mindset dan prilaku pegawai apartur sipil negara yang terdiri dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perintah Kerja.  
Hal yang tidak kalah penting dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat struktural harus betul-betul mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat struktural atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang, bukan karena kedekatan-kedekatan tertentu dengan pejabat atau sistem like and dislike sperti pola rekruitment dengan spoil system. Rekruitmen atas kehendak dari shadow government (pemerintah bayangan) atau local strong man yang biasa berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi. 
Best practise revolusi mental dalam rekrtutmen pejabat struktural adalah model lelang jabatan seperti yang diterapkan di DKI. Dengan memberikan kesempatan kepada pegawai negeri yang memenuhi syarat kepangakatan untuk diuji kelayakan dan kepatutatannya untuk menduduki jabatan yang tersedia adalah model yang bisa ditiru oleh seluruh pejabat di daerah dalam rangka melakukan revolusi mental sebagai upaya optimal dalam meningkatakan pelayanan. Karena pejabat yang terpilih melalui lelang jabatan akan merasa memiliki amanah yang lebih tinggi dan bertanggungjawab kepada publik atas jabatan yang diberikan sehingga pelayanan publik akan diterapkan dengan optimal.



D.    Kesimpulan
Revolusi mental birokrasi adalah pembenahan sistem dan mental aparatur birokrat dalam upaya meningkatakan pelayanan publik. Revolusi mental birokrasi adalah membangun  jiwa, mental, prilaku dan karakter birokrasi dalam rangka  penataan ulang secara bertahap dan sistematis dengan correct dan perfect atas fungsi utama pemerintah demi kelancaran pendayagunaan aparatur negara yang kualitasnya semakin meningkat, meliputi kelembagaan atau institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas (transparan), diisi SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakat serta menghasilkan pelayan publik yang prima.
Point utama dalam revolusi mental birokrasi adalah adalah rektruimetn pejabat struktural yang mencerminkan pola rekritumen denga prinsip merit system yakni merekrut pejabat struktural atas dasar kapasitas dan kapabilitas seseorang, bukan karena kedekatan-kedekatan tertentu dengan pejabat atau sistem like and dislike sperti pola rekruitment dengan spoil system. Rekruitmen atas kehendak dari shadow government (pemerintah bayangan) atau local strong man yang biasa berasal dari tim sukses atau partai pengusung kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) saat pemilihan sudah harus direvolusi.
Lelang jabatan sebagai bagia best practise dalam revolusi mental birokrasi dalam rekruitment pejabat struktural merupakan salah satu upaya optimal dalam rangka revolusi mental birokrasi dalam kerangka optimalisasi pelayanan publik.





Daftar Pustaka


Buku

Albrow M., (1996), Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta

Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rosyadi, Slamet. 2010. Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Gava Media, Yogyakarta.

Tamin, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara. Blantika, Jakarta.

Sumber Lain

Argama R., (2007), Reformasi Birokrasi dalam Perkpektif Adminitrasi Pembangunan (Makalah), Universitas Indonesia, Depok.

UU No 5 Tahun 2014 tentang Aapartus Sipil Negara

http://kompas.com/berita/kampanyepilpres. di unduh tanggal 25 desember 2014

-----------------
Foto :rekangambar.com

»»  read more

Sabtu, 04 April 2015

Dinamika Perubahan UU Pemerintahan Daerah

Pendahuluan
Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Berbagai dinamika dalam  perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan Indonesia  tentu menerapkan pembagian urusan pusat dan daerah dengan tetap mengacu pada pola desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind.  

Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu pada ultra vires doctrine  (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open end arrengement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa)[1]. Ultra vires doctrine lebih terasa pada pola sentralisitik sementara residual power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa diterapkan dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara kesatuan kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.

Pola hubugan  pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra  vires doctrine karena kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang diberikan bersifat residual power atau open and arrengmet atau general competence[2] karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali  urusan yang ditangani oleh pemerintah pusat, yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri, peradilan, dan agama

Selain itu sistem pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia juga menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris[3]. Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua). Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa)

Perubahan Kebijakan dalam berbagai Perspektif
Perubahan kebijakan dalam  hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme[4].

Hal ini sejalan yang dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik[5]. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Selain persoalan agenda setting  seperti dikemukan diatas, Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999  melihat lebih lengkap menguraikan variabel perubahan kebijakan dalam sebuah  negara.  Bahwa ada empat variabel utama dalam perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[6]
Empat variabel ini dapat membantu melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa Indonesia lebih demokratis. Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat.  Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga terasa dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan federalisme. Sementara institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. khususindividu-individu khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isu-isu federalisme tidak semakin luas diteriakkan di daerah.


Pokok Perubahan UU Pemerintahan Daerah
UU No 5 Tahun 1974
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 lebih condong kearah sentralistik. Beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undangundang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang menandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta. [9]
Meskipun harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.

UU No 22 Tahun 1999
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun, 2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua, Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga, Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat otonomi daerah difokuskan kepada Daerah Kabupatendan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Dalam sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without Funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.

Dari UU No 22 tahun 1999 terdapat kesan kuat bahwa pusat memberikan kewenangan pada daerah. Pada kondisi tersbut mungkin terbaca bahwa pusat mulai mengakomodasi tuntutan daerah. Pemberian kewenangan daerah dalam skema otonomi daerah, bisa dibaca sebagai konsekuensi dari menurun daya kemampuan pusat untuk mengendalikan daerah, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur diri sendiri. Pada kontek lain munculnya berbagai konflik di daerah terdapat kesan bahwa pusat seakan-akan hendak memindahkan pesoalan dalam ke masing-masing wilayah

Perubahan pengelolaan pemerinah daerah juga dilihat dalam era pasca-desentralisasi. Perubahan tersebut terlihat secara signifikan dalam keberadaan DPRD. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,  DPRD diberi  peran dominan vis-à-vis kepala daerah  di pemerintahan daerah. Tujuan  utamanya adalah untuk membawa pemerintahan lokal yang demokratis di berbagai daerah melalui, antara lain, pemberdayaan DPRD sebagai wakil masyarakat lokal dan sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menahan kepala daerah bertanggung jawab atas kinerja mereka[10].
Di deberapa daerah, terjadi penguatan terhadap fungsi DPRD bahkan terlihat terjadi legislatif heavey dimana kepala daerah “kewalahan” menghadapi DPRD, apalgi kalau kepala daerah berasal dari partai berbeda dengan partai mayoritas di DPRD. Bahkan seolah-olah terjadi devided government (pemerintahan terbelah) akibat kepala daerah tersandra dengan DPRD.

UU 32 tahun 2004
Antara UU 32 tahun 2004 dengan UU  No 22 tahunn 1999 sebenarnya tidak ada perbedaan prinsipal dalam kebijakan pengelolaan pemerintahann daerah. Dalam perspektif desentralisasi masih menerapkan prinsip residual power atau open arrangement karena pusat masih mengurus 6 urusan yang bersifat konkruent.  Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan  tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah  ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah  yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu  kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

UU No 23 Tahun 2014
Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan,  keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.  Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah

Selain persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada perbedaan yuridis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya.  Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.

Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.


Mengapa Berubah
Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam melihat dinamika perubahan pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam melihat dinamika perubahan kebijakannya.
Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan, maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan jaringan-jaringan kebijakan.
Perubahan-perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika tiga-dimensi dan spatial, yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel. Dinamika ini bisa kompleks, namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan antara mereka, terlihat krusial.  Variabel-variabel penentu utama dari perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)[11]
Empat I ini kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat dalam aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke arah desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan pola ultra vire doctrine atau residual power hal ini terlihat betapa banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.    

Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Namun yang paling mejadi perhatian adalah soal insterest, perubahan kebijakan pemerintah daerah  adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah. Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan bertanggung jawab.

Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia. Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.

Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya menjadi jelas[12]. Perubahan pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan.
Sementara Peter John melihat bahwa pengaruh institusional, pilihan rasional, jaringan, pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional bahwa teori evolusi mungkin berguna mengungkap proses mikro-tingkat di tempat kerja, khususnya karena beberapa tiga kerangka mengacu pada model dinamis dan metode, apa yang dikemukakan oleh Peter John juga terlihat dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, bahwa pilihn rasional akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open arrangement merupakan pilihan rasional yang diambil oleh negara khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Pemikiran Stefaan Walgrave tentang perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam perubahan pemerintahan daerah, Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Kesimpulan
Dinamika perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indoensia pasca reforrmasi mengalami dari UU 5 tahun 1975  menjadi UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 dari aspek yuridis dan filosofis mengalami pergeseran dari ultra vires doctrine (merinci satu persatu urusan yang diserahkan ke daerah) menjadi open and arrangement atau residual power (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa).
Faktor perubahan UU pemerintahan daerah relevan dengan konsep yang dikemukakan oleh  Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa Four I (yakni  ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu) terjadi dalam pemerintahan daerah di Indonesia
Selain itu Peter John juga melihat bahwa pilihan rasional juga menjadi bagian dalam perubahan kebijakan pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.
Stefaan Walgrave  yang melihat bahwa bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda setting reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan  berbagai perubahan UU Pemerintahan Daerah.





[1] Hanif,  Teori dan Parktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta, 2003
[2] Idem
[3] JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi.
Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
[4] Relasi hubunga pusat dan daerah, Lapera, 2002 Jogyakarta
[5] Stevaan Walgrave, Governance: an International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol 21, No 3 july 2008 (pp.365-395)
[6] Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001
[7] Peter John, Is there life after policy stremas, advocacy  caolitions, and punctuations : using evolutionary theory to explain policy change, The Policy Studies Jurnal, Published by blackwell publishing. Inc..350
[8] Wilson, Carter A. 2000. “Policy Regimes and Policy Change.” Journal of Public Policy 20(3): 247-274.
[9] Syaukani, dkk (Syaukani, dkk, 2009:145- 150),
[10] Mudiyati, Decentralization and Democratization in  the Post Suharto Era: Lessons from Kota Cirebon, West Java, Indonesia, http://asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Decentralization_and_Democratization_in_the_Post.pdf
[11] Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001

[12] idem
»»  read more